KAROMAH
Karomah
Sree..t........ Aku menutup
retsluiting tas besar yang berisi
pakaian.
"Sudah selesai, mas ?" tanya
istriku dari belakangku. Aku
hanya
mengangguk. Ku toleh
kebelakang ia sedang tersenyum,
dan aku membalas
senyumannya. Diangkatnya tas
itu dan ditaruhya dekat pintu.
Disitu juga
sudah ada doos yang berisi
sedikit oleh-oleh.
"Kok belum datang juga
mobilnya, padahal sudah jam
satu lewat,"
katanya sedikit khawatir. Ia
melihat keluar ke arah jalan di
depan rumah
mungil kami.
"Mungkin sebentar lagi, Dik.
Biasanya mobil tavel kan
menjemput para
penumpangnya. Pintu belakang
sudah kau kunci ?"
"Sudah , Mas," istriku
menghampiriku dan membantuku
berdiri.
Senyumannya yang manis tetap
tersungging di bibir merah yang
tidak pernah
tersentuh lipstik. Ah ...., Laily
istriku ..... Aku tahu kau lelah,
tapi itu
tak pernah kau tampakkan.
Bagaimana tidak, menjadi istriku
kau seakan
melakukan pekerjaan double
karena aku tidak bisa berbuat
banyak di atas
topangan 'kruk' penyangga
tubuhku ini.
Aku mengalami lumpuh kurang
lebih enam tahun yang lalu
akibat shock
yang cukup berat. Waktu itu aku
masih mahasiswa semester IV di
IKIP. Aku
adalah bungsu dan laki satu-
satunya dari lima bersaudara.
Ayah bekerja
sebagai kepala keuangan di
sebuah perusahaan swasta.
Karena terbukti
menggelapkan uang perusahaan,
ayah bunuh diri sebelum sempat
diamankan oleh
pihak yang berwajib. Rumah dan
semua harta kami disita. Ibu yang
tak kuat
mnerima musibah ini meninggal
karena serangan jantung. Aku
begitu malu dan
terpukul dengan kejadian ini. Aku
merasa ditipu ayah ku dengan
kekayaah dan
kemewahan yang ternyata hasil
uang haram. Aku shock, dan
entah mengapa,
tiba-tiba aku sakit dan lumpuh.
saat itu kurasakan dunia ini
hancur dan tak
ada semangat untuk hidup.
Alhamdulillah, Allah memberikan
hidayah-Nya lewat
Zaid, teman kuliahku yang juga
satu pondokan / kost.
Dengan sabar Zaid membakar
kembali semangatku,
menunjukkan kepadaku
manisnya ukhuwwah karena Allah
dan nikmatnya dekat dengan
Allah. Hampir tiap
hari ia menjengukku di rumah
sakit, sehingga tidak sampai satu
bulan aku
kembali ke bangku kuliah lagi,
dengan semangat baru meskipun
aku berjalan
dengan dua buah kruk yang
menggantikan fungsi kakiku.
Biaya kuliahku
ditanggung oleh keempat kakak
iparku hingga aku lulus dengan
prestsi yang
jauh lebih baik ketimbang saat
empat semester awal. Dan kini
aku telah
menjadi pengajar di sebuah SMA
favorite di kota ini. Sesekali aku
pulang ke
kota asalku untuk berziarah ke
makam ayah dan ibu. Pernah
terpikir olehku
untuk tidak beristri sampai pada
suatu hari ustadz Romly
menawarkan kepadaku
untuk menikah.
"Fuad...., Kau akan meninggalkan
sunnah Rasul dengan membunuh
fitrahmu hanya karena perasaan
bahwa, maaf, cacat itu akan
menyusahkan
orang lain ?" begitulah nasehat
ustadz Romly masih terngiang di
telingaku.
Hingga telah sekitar delapan
bulan aku menikahi Laily, putri
tunggal seorang
usahawan kaya, sarjana
pertanian, cantik, tegas, tabah ,
dan sholihah.....
"Mas Fuad, Mas ..... itu mobilnya
sudah datang, ayo Mas ..." Aku
terhenyak , lamunanku yang
sejenak tadi membuatku tidak
mengetahui bahwa
mobil travel itu sudah datang.
Lalu dengan mesra ia
menuntunku. Tas dan doos
bawaan kami dibawa
oleh supir ke dalam mobil.
Orang-orang di dalam mobil
kulihat sepintas,
mereka memperhatikan kami,
bahkan ada diantaranya yang
berbisik-bisik. Aku
sedikit jengah...., kulirik istriku,
diwajahnya tidak kutemukan
gambaran
bahwa ia malu berjalan di
sampingku, suaminya. Bahkan
penuh kasih sayang ia
membantuku naik ke dalam
mobil. Ah Robbi ...., ia bisa
membuat iri
orang-orang yang melihat
kami......
*****
Sekitar empat jam perjalanan,
akhirnya kami sampai di rumah
mertuaku. Mobil berhenti tepat di
depan rumah besar dan indah.
Seperti saat
berangkat , Laily kembali
membantuku turun dari mobil
dengan sikap yang
sama, sabar, dan penuh kasih
dan bangga terhadapku. Laily ...
Pintu pagar besi dibuka oleh
seorang perempuan setengah
tua. Dialah
mbok Inah. Ia menjadi pembantu
rumah tangga sejak Laily belum
lahir. ia pun
telah dianggap sebagai keluarga
sendiri. Setelah menjawab salam
Laily,
dengan penuh hormat dan sedikit
basa basi, mbok Inah membantu
membawakan
barang-barang yang kubawa. Aku
mengangguk ta'zim padanya.
Sementara dari teras rumah,
mama tergopoh-gopoh
menyambut kedatangan
kami. Setelah itu , kami larut
dalam suasana bahagia diiringi
dengan obrolan
untuk menebus kekangenan.
"Papa kemana, Ma?"
"Papanya Laily lagi tennis, paling
bentar lagi pulang. Biasanya
menjelang maghrib sampai di
rumah."
Papa memang rajin tennis.
Selepas sholat subuh ia jogging
dan
bersepeda setelah sebelumnya
ngaji. Ngaji ? Ya....., meskipun
dulu papa agak
kecewa terhadapku, lama
kelamaan beliau bisa
menerimaku apa adanya, bahkan
kemudian sering mengajakku
berdikusi tentang berbagai
masalah. Beliau
ternyata interest juga terhadap
Al-Islam. Sekali atau kadang dua
kali
sebulan papa dan mama
menjenguk kami. Disaat itulah
beliau banyak bertanya
tentang agama dan berdikusi
denganku. Alhamdulillah, Allah
telah membuka
hati kedua mertuaku. mama yang
telah berjilbab dan aktif
menggerakkan
ibu-ibu dalam kegiatan pengajian.
Dan papa kini sedang
membangun masjid di
lingkungan kantor untuk para
karyawan beliau.
Sebentar kemudian mbok Inah
membawa sekaleng biskuit dan
sepiring
jajanan berwarna putih, merah ,
dan hijau setelah sebelumnya
membawa tiga
cangkir teh hangat. istriku bangkit
dan menghampiri mbok Inah dan
memeluknya.
"Ada apa neng ?" tanya mbok
Inah bingung mendadak dipeluk.
"Mbok dapat darimana putu
mayang ini?" tanya isriku denan
mata
berbinar. Dilepaskannya
tangannya dari tubuh mbok Inah,
lalu setelah mencuci
tangannya di kobokan yang telah
disediakan pula oleh si mbok,
Laily segera
menyantap makanan
kesukaannya itu.
"Mbok beli di toko seberang jalan
yang dekat perempatan itu. Mbok
kan tahu neng Laily suka ini...."
kata mbok Inah yang senang
melihat istriku
makan jajanan itu dengan
semangat. Aku tersenyum.
Kasihan Laily, dua minggu
belakangan ini ia ingin sekali
makan putu mayang, kata orang
keinginan
seperti ini namanya 'ngidam'.
Laily hanya bisa menahan
keinginannya karena
aku tidak tahu seperti apa putu
mayang itu dan kebetulan
beberapa toko
makanan setiap aku menanyakan
selalu tidak ada. Terbayang oleh
ku bagimana
setiap aku pulang dia
membukakan pintu dan
menanyakan pesanan putu
mayangnya.
"Ayo, Dik !! dimakan sampai lega
yang di perut...." kataku
menggoda,
dan Laily tersipu.
Sementara mama dan mbok Inah
memandangiku tidak percaya.
Setelah itu barulah
mereka mengerti bahwa Laily
sedang ngidam. Serentak mereka
memeluk Laily
bergantian. Laily diam saja, tapi
bibirnya tersenyum dan pipinya
memerah.
Ahhhh ...., kau cantik sekali Laily,
bisikku dalam hati.
Sementara di luar terdengar sara
deru mobil Papa tiba.
***** bersambung insya Allah
*****
Ini hari ketiga aku berada di
rumah mertuaku. Laily nampak
bahagia
sekali di tengah-tengah
keluarganya. Memang sejak kami
menikah, baru dua
kali ini kami mengunjungi mama
dan papa.
"Mas, nanti ke mesjid, kan ?"
tanya istriku ketika kami
membaca
Ishlah sore itu.
"Insya Allah," jawabku.
Biasanya papa dan pak Pardi ikut
jama'ah di mesjid. Tapi, karena
ada
janji dengan rekan sekerjanya,
terpaksa mereka tak bisa ikut
jama'ah maghrib
dan isya' nanti.
"Mas...., nanti setelah Isya'-an di
mesjid jangan malam-malam
pulangnya,... Laily tunggu makan
malam."
Aku menoleh, ternyata istriku
sudah berada tidak jauh dari
tempatku
duduk. Aku keasyikan membaca
rupanya.
"Insya Allah," jawabku. Aku
menutup Ishlahku untuk
sementara.
"Kita jadi pulang besok pagi?"
tanyanya.
"Insya Allah. Soalnya lusa aku
mesti ke sekolahan. Maturnya ke
mama
sama papa pagi-pagi waktu
sarapan aja. Kita pulangnya
nggak usah terlalu
pagi, ya kira-kira setelah sholat
dhuha."
*****
Aku masih duduk bersimpuh di
atas sejadahku. Posisi ini belum
berubah sejah aku selesai sholat
isya'. Aku selalu sholat dalam
keadaan
duduk setelah lumpuhnya kakiku.
Kulihat jam dinding di atas
tempat berdiri
imam, pukul 20.00, berarti sudah
empat puluh menit sejak
kusadarai kruk-ku
'raib' dari sisiku. Sementara dik
Agus dan seorang temannya
sibuk mencari
sebelah kruk-ku yang belum
ketemu. Pikiranku melayang
kepada istriku yang
pasti sudah menunggu. Ya Allah
mudah-mudahan ia sudah makan
tanpa harus
menungguku.
"Belum ketemu, dik Budi ?"
tanyaku kepada teman dik Agus
yang baru
masuk dari pintu kanan mesjid.
Tanganku memegangi kruk yang
telah ditemukan
lebih dulu oleh dik Budi di
tempat wudhu wanita.
"Anak-anak disini nakal, mas,
kurang didikan dari orang tua
mereka,"
kata Budi tidak menjawab
pertanyaan ku.
"Aku menghela napas. Ya Rabb,
haruskah aku marah karena
dibuat
mainan oleh anak kecil?
Seandainya papa dan pak Pardi
ada seperti kemarin tentu mereka
tidak berani
berbuat semacam ini padaku.
Atau seandainya aku tidak
cacat .... Astaghfirullah, aku
menepiskan
pikiran yang beranda-andai itu.
"Alhamdulillah," kataku lega.
Kutata hatiku yang sedari tadi
penuh
dengan keluhan. Agus dan Budi
membawa kruk-ku yang satu lagi
dan membantuku
berdiri.
"Terima kasih, A
Komentar